Sabtu, 11 Desember 2010

WANITA KARIER DALAM BINGKAI ISLAM (2) Tamat

Sebagai agama yang kaffah, Islam tidak hanya melingkupi dan mengatur perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan alam, termasuk di dalamnya tentang bekerja yang tampaknya bersifat duniawi. Bekerja adalah segala usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak anggota tubuh ataupun akal untuk menambah kekayaan, baik dilakukan secara perseorangan atau secara kolektif, baik untuk pribadi ataupun untuk orang lain (dengan menerima gaji).
Dalam dunia ekonomi, bekerja merupakan sendi utama produksi selain alam dan modal. Hanya dengan bekerja secara disiplin dan etos yang tinggi, produktivitas s8uatu masyarakat menjadi tinggi. Semakin tinggi produktivitas, semakin besar kemungkinannya bagi masyarakat itu untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
Manusia diciptakan Allah SWT, sebagai makhluk yang mempunyai kebutuhan berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan keturunan. Sementara itu Allah SWT, tidak menyediakan kebutuhan-kebutuhan itu dalam bentuknya yang siap makan, siap minum atau siap pakai. Allah SWT menyediakan semua kebutuhan itu, tetapi manusia harus bekerja untuk mendapatkannya, tak terkecuali para nabi.
Menurut Islam bekerja yang tampaknya bernuansa duniawi dapat bernilai ibadah bila dilakukan dengan tujuan yang benar: yaitu mencari ridla Allah SWT, dan mendapatkan keutamaan dari hasil kerjanya. Hal ini sesuai dengan Firman Alllah SWT, dalam surat al-Jum’ah : 10.

”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Seiring dengan itu perlu ditumbuhkan suatu kesadaran akan pentingnya kapabilitas bekerja dengan berusaha bagi setiap individu baik pria maupun wanita, karena terwujud kemitraan pria dan wanita berhajat kepada adanya kerjasama dan keterpaduan dalam memikul tanggungjawab mereka.
Dan manakala kita mencermati kondisi dalam kehidupannya selama ini, maka akan kita jumpai sebagian suami mereka ternyata tidak berkemampuan menanggung biaya hidup keluarga, bahkan kebanyakan orang tua/wali tidak sanggup menanggung beban hidup seorang anak wanita beserta anak-anaknya ketiak ia diceraikan suaminya atau menjadi janda karena ditinggal mati oleh suaminya.
Dalam kondisi seperti ini seorang wanita dapat dikatakan wajib terjun ke dunia profesi (karier) untuk menanggung biaya hidupnya beserta keluarganya karena sipenanggung jawab sudah tiada/tidak berdaya. Sementara dalam kesempatan lain seorang wanita disunahkan melakukan kegiatan profesi. Manakala kegiatan profesi (karier) dilakukan sejalan dengan tanggung jawab keluarga dan berpedoman pada tujuan-tujuan yang luhurnya membantu suami, ayah, atau saudaranya yang miskin, mewujudkan kepentingan masyarakat banyak, berkorban pada jalan yang baik dan sebagainya.
Setelah mencermati berbagai motif berkarier bagi wanita maka penelusuran selanjutnya diarahkan pada pandangan Islam terhadap karier wanita. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban yang sama dengan pria, wanita juga mempunyai peluang berkarier sebagaimana pria. Cukup banyak ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang memberikan pemahaman esensial: bahwa Islam mendorong wanita maupun pria untuk berkarier. Dalam surat an-Nisa : 32, Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dalam beribadah maupun berkarya, wanita memperoleh imbalan dan pahala yang tidak berbeda dengan pria. Islam tidak membedakan pengakuan dan apresiasi terhadap kinerja atasa dasar jenis kelamin. Bahkan ditegaskan bahwa prestasi akan dicapai jika usaha dilakukan secara maksimal disertai do’a. Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa wanita bisa berkarier dan dapat mencapai prestasi sama dengan pria atau bahkan melebihinya; bergantung pada usaha dan doanya.
Penegasan Allah SWT bahwa wanita dan pria diberi hak dan peluang yang sama baik dalam hal beramal, bekerja maupun berprestasi dapat disimak pula dalam Q.S. An-Nisa : 124 berikut ini:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”

Beberapa ayat Al-Qur’an tersebut cukup menjadi bukti bahwa ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita. Islam memberikan motivasi yang kuat agar para musliamah mampu berkarier di segala bidang sesuai dengan kodrat martabatnya. Islam membebaskan wanita dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan. Dengan demikian, Islam memang agama pembebasan dari perbudakan antar manusia maupun hawa nafsunya. Konsep ini selaras dengan prinsip kebebasan yang dianut barat. Hanya saja, melalui Islam manusia dituntun hidup bebas sesuai dengan tuntunan Tuhan.
Masalah yang timbul kini berkaitan dengan keterlibatan wanita dalam dalam dunia profesi (karier) yang ruang geraknya disektor publik, sedangkan di sisi lain wanita sebagai ra’iyah fi baiti zaujiha (penanggungjawab dalam masalah-masalah intern rumah tangga), cukup menimbulkan pendapat yang kontroversial di kalangan cendekiawan muslim. Abbas Mahmud al-Aqqad misalnya, tidak memperbolehkan wanita (istri) bekerja di luar rumah. Alasannya karena pria telah diberi kelebihan kemampuan dalam menghadapi hidup daripada wanita. Karena itu ”kerajaan” wanita terletak di rumah tangga, meskipun ia memiliki kesanggupan intelektual maupun fisik yang sama dengan pria, namun dalam kondisi tertentu wanita harus mundur dari perjuangan hidup selama hamil, melahirkan, dan menyusui anak. Kecuali bila wanita terpaksa harus mencari nafkah sendiri, maka al-Aqqad membolehkan wanita bekerja. Mustafa al-Siba’i sependapat dengan al-Aqqad, yakni membolehkan wanita bekerja manakala tidak ada seseorang yang menjamin nafkah padanya. Itupun hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang relatif mudah wajar dan tidak mengandung resiko. Bainya wanita lebih terhormat untuk tinggal di rumah terutama bila yang bersangkutan mempunyai anak.
Dalam kegiatan sosial maupun politik, meskipun tidak ada larangan secara eksplisit, namun pada masa Rasul SAW, dan masa Sahabat tidak ada wanita yang berprofesi sebagai politikus. Keterlibata mereka di medan perang untuk menjadi perawat dan juru masak sekedar partisipasi dan bukan pemegang posisi strategis. Ia beranggapan bahwa wanita yang bekerja di luar rumah, lebih banyak maaratnya dibandingkan manfaat yang diraihnya, yaitu mendatangkan fitnah yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan rumah tangganya.
Abdurahman Taj berpendapat bahwa apabila seorang istri bekerja sehari penuh atau sebagian waktu siang, kemudian pada malam hari berada di rumah (suaminya) atau bekerja di malam hari dan menggunakan sisa waktu malamnya bersama suami; maka apabila hak suami rela dengan keadaan tersebut, gugurlah haknya dalam menahan istri agar tinggal di rumah dan ia wajib memberinya (istri) nafkah, sebaliknya manakala ia (suami) tidak rela maka ia tidak (wajib) memberinya (istri) nafkah. Bahkan apabila suami pada mulanya rela istri bekerja lantas berubah pikiran untuk mencegahnya dan manakala istrinya menolak untuk berhenti bekerja, maka gugurlah kewajiban suami memberi nafkah.
Bila dicermati dengan seksam maka pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan kepada paham fungsionalistik, yang mengutamakan keseimbangan, keharmonisan dan kestabilan, karena itu agar tidak terjadi konflik dalam keluarga akibat persaingankarier (suami-istri) maka harus ada pembagian tugas yang sedemikian rupa yang menempatkan suami dalam fungsi instrumental dan istri dalam fungsi ekspresif.
Sedangkan dipihak lain antara lain al-Hatimi menyatakan bahwa wanita boleh bekerja, bahkan dibolehkan menduduki jabatan strategis/peranan penting di masyarakat dengan catatan tetap tunduk pada ajaran syariat yang menghidupi kesuciannya serta tidak menelantarkan peran utamanya sebagai ibu rumah tangga. Pendapatnya bertolak dari historis tentang partisifasi para wanita di zaman Nabi SAW, dalam peperangan, misalnya: ”mengangkat/menyediakan air minum para prajurit, memasak/menyediakan makanan, menjaga/merawat prajurit yang sakit, menjaga dan memelihara kenadaraan, memata-matai musuh, menjahit pakaian dan sebagainya”.
Seorang wanita yang bernama Ummu ’Atiyah ikut berperang bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali sebagaimana pengakuannya yang termaktub dalam Hadis berikut: Dari Ummu ’Atiyah al-Anshariyyah berkata, ”Saya berperang bersama Rasulullah SAW, sebanyak 7 kali; aku membantu mereka (pasukan) dalam barak mereka dengan menyiapkan makanan mereka, mengobati yang terluka, dan menjaga yang sakit”.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dan masih banyak lagi wanita yang ikut terjun ke medan perang, misalnya Safiyah binti Abdul Muthalib seorang wanita pemberani dan sangat perkasa, sehingga dengan pukulannya yang kuat ia bisa membunuh mata-mata dari umat Yahudi.
Dengan fakta-fakta historis tersebut maka tidak perlu ada lagi alasan-alasan yang mengahalangi/melarang seorang wanita terjun dalam profesi apapun, manakala tidak keluar dari koridor kewajaran menurut syariat Islam dan tidak meninggalkan/ mengabaikan tugas utama mereka sebagai ibu rumah tangga.
Dalam keluarga Rasulullah SAW, empat orang dari istri-istri beliau juga profesional dalam menjalankan tugasnya. Mereka itu adalah:
 Aisyah r.a. Guru ilmu kedokteran yang mahir di bidang pengobatan, ahli sejarah dan juga sastra, ahli ilmu-ilmu agama, ahli ilmu politik bahkan pernah menjadi Panglima dalam Perang Jamal. Setelah Nabi SAW, wafat beliau mengajar di kediamannya. Dengan demikian Aisyah dapat dikategorikan sebagai cendekiawan, ulama dan budayawan. Aisyah adalah tokoh msyarakat di zamannya yang tidak kalah dengan sahabat-sahabat Nabi lainnya.
 Hafsah. Guru al-Qur’an dan pengetahuan umum. Beliau terkenal cerdas dan pernah terlibat dalam kegiatan politik. Bersama Aisyah pernah memberikan teguran kepada Khalifah Utsman r.a. Hanya karena dihalangi adiknya (Abdullah bin Umar r.a), beliau tidak ikut terjun dalam Perang Jamal. Bagaimana kelebihannya di mata umat terlihat dari kepercayaan mereka kepada Hafsah untuk menyimpan naskah al-Qur’an yang ditulis di zaman Abu Bakar r.a.
 Ummu Salamah. Guru ilmu politik dan hubungan antar bangsa ketika Nabi menghadapi situasi kritis menghadapi umat Islam yang kecewa dengan Perjanjian Hudaibiyah dan tidak mau ber-tahallul. Ummu Salamah lah yang tampil untuk memberi saran kepada Nabi untuk bersikap tegas memulai tahallul yang kemudian semua sahabat mengikuti tahallul.
 Zainab binti Zahsy. Adalah guru keterampilan terutama kerajinan tangan. Sedangkan istri-istri yang lain yaitu Saudah, Safiyah, Juwairiyah, Ummu Habibah, dan Maimunah berperan menjadi ibu rumah tangga murni.
Tokoh lain yang membolehkan wanita bekerja di luar rumah adalah al-Sakhawi yang mengatakan bahwa wanita-wanita yang mempunyai keahlian atau kepandaian tertentu, seharusnya diabdikan kepada masyarakat agar manfaatnya menyebar kepada orang banyak. Jamal al-Din Muhammad Mahmud sependapat dengan al-Sakhawi bahwa wanita berhak mendapatkan kesempatan untuk bekerja (di sektor publik) apabila yang bersangkutan membutuhkan pekerjaan itu, atau pekerjaan tersebut membutuhkan orang-orang seperti dia (dalam keahlian tertentu) bahkan seharusnya dibuat undang-undang yang sesuai dengan hukum Islam untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan pekerja-pekerja wanita itu.
Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh wanita dalam meniti karier di luar rumah. Antara lain:
A. Pergaulan Wanita
Tidak dapat diingkari Islam merupakan agama yang syamil (utuh dan sempurna). Tak satu pun aspek kehidupan manusia yang tidak diatur dalam sumber hukumnya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW; maka dalam hal ini tidak bisa tidak, setiap pembicaraan tentang wanita dalam Islam tentu akan ”memaksa” kita untuk merujuk kepada al-Qur’an dan Hadist. Disini kehidupan muslimah, peran dan tanggung jawabnya dalam keluarga serta masyarakat tidak luput dari jangkauan Islam. Jadi dapat dikatakan muslimah dalam segala gerak-geriknya terikat dengan nilai-nilai keislaman, suatu ikatan yang tidak membelenggu fitrahnya, melainkan justru akan membawa kepada kebahagiaan hakiki.
Berbicara mengenai al-Qur’an dan hadits sebagai sumber hukum, tentu juga tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai fikih yang mempunyai nilai normatif dan historis. Fikih dalam hal ini harus juga dibedakan dengan syariah. Karena pada kenyataannya realitas kehidupan manusia yang nampak (umat Islam), adalah merupakan cermin dari berbagai refresentasi fikih yang ada. Adanya pembedaan sistem dan pola relasi, menunjukkan adanya perbedaan pemahaman terhadap nash al-Qur’an dan sunnah dalam bentuk fikih sebagai produk hukum. Jadi dalam konteks kehidupan wanita, realitas kehidupan muslimah yang ada merupakan bentuk fikih wanita ”yang hidup” karena segala seluk beluk yang menyangkut masalah kehidupan termasuk pola relasi mereka dengan pria, berangkat dari nash al-Qur’an dan hadits yang terimplementasi dalam bentuk fikih. Sayangnya fikih yang dijadikan acuan normatif oleh sebagian besar komunitas muslim, sangat diwarnai semangat patriarki, sehingga cenderung menempatkan posisi wanita yang tidak seimbang dengan pria dalam berbagai sektor kehidupan. Untuk itu dalam membicarakan pergaulan wanita seyogyanya bukan fikih yang semata-mata dijadikan acuan, apalagi fikih klasik. al-Qur’an dan hadist lebih memberikan pencerahan dalam membicarakan persoalan yang senantiasa aktual ini.
Berkaitan dengan pola pergaulan muslimah, al-Qur’an dan hadits telah memaparkan dengan jelas ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap muslimah. Dalil-dalil ini juga telah dikutip oleh para ”ulama” sebagaimana tertuang buku-buku fikih. Dari berbagai ayat dan sabda Nabi, dapat disimpulkan prinsif-prinsif dasar yang menjadi landasan pola pergaulan muslimah.dalam hubungan ini, hal-hal berikut ini perlu direnungkan.
Salah satu ayat al-Qur’an (Surat Al-Ahzab/33 : 33) menyatakan wanita diperintahkan untuk tinggal dirumah dan tidak diperkenankan keluar rumah dengan tabarruj seperti orang-orang jahiliyah.

“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu…”

Namun dilihat dari asbab al nujulnya, ayat ini turun dalam konteks istri-istri Nabi. Istri-istri Nabi SAW diperintahkan untuk tetap berada di rumahnya kecuali ada keperluan yang bersifat darurat, dan ini juga berlaku pula bagi wanita muslimah lainnya jika tidak ada dalil lain yang menyatakan berbeda. Ayat ini diturunkan untuk melindungi dan memuliakan wanita.
Untuk kehidupan masa kini, meninggalkan rumah bagi sebagian wanita muslimah tidak hanya darurat tetapi merupakan kebutuhan. Bahkan meninggalkan rumah untuk berkarier, sama sekali tidak menjadikan wanita terancam; bahkan bisa ”mulia” menurut persepsi masyarakat. Dengan kata lain wanita yang berkarier dan sukses justru dinilai positif dan direspek tentu saja selama wanita itu memegang teguh nilai-nilai Islam, baik dalam pergaulan, pakaian maupun dalam bekerja.
Dalam berinteraksi dengan kaum pria, wanita diperintahkan untuk merendahkan suaranya, dan dilarang mengekspresikan suara yang menimbulkan rangsangan bagi pria selain muhrimnya. Firman Allah:

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[1214] dan ucapkanlah perkataan yang baik,” (Q.S. Al-Ahzab/33:32)

Masih terkait dengan interaksi wanita-pria, wanita tidak diperkenankan berduaan dengan pria bukan muhrimnya, demikian pula sebaliknya. Dalam sebuah hadits disebutkan: Dari Uqbah bin Amir dari Nabi SAW mengatakan, ”Tidaklah seorang pria berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, kecuali setan yang ketiga diantara mereka”. (HR. Bukhari, Ahmad dan At-Turmudzi).
Ketika berjalan, wanita harus menunjukkan sikap tawadu, penuh rasa malu namun sopan dan tidak menampakkan kelemahan yang bisa mendorong pria untuk menggodanya. Tidak boleh memakai sesuatu yang menimbulkan suara ketika berjalan, sehingga menarik perhatian orang yang mendengarnya, seperti memakai gelang kaki, sepatu yang bisa menimbulkan suara dan sebagainya. Dalam al-Qur’an dinyatakan:

“…Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur : 31)

Wanita hendaknya tidak berdesakan dengan pria di jalan. Ketika berjalan berbaur dengan orang banyak, dimana sebagian mereka adalah pria, maka hendaknya wanita di bagian belakang.
Wanita juga tidak boleh memakai wewangian dan aneka macam alat kecantikan yang bisa menarik perhatian lawan jenis.
Islam telah menggariskan etika sempurna tentang peran wanita dalam kehidupan sosial dengan segala konsekuensinya, seperti harus bertemu dengan kaum pria. Dalam hal ini terdapat beberapa faktor yang menjadi karakter dasar etika tersebut, diantaranya:
a. Tidak menghambat proses keseriusan hidup serta tetap mempertahankan akhlak dan harga diri manusia.
b. Menumbuhkembangkan kesejahteraan dan kemakmuran, menjauhkan manusia dari kemunkaran sekaligus menempanya sehingga tidak terseret arus kejahatan.
c. Menjamin kesehatan mental pria dan wanita secara merata, karena tidak membuka peluang bagi sikap berlebihan, melanggar norma suslila, atau memancing syahwat. Selain itu, etika itupun tidak menimbulkan sikap pura-pura malu, tidak menimbulkan perasaan sensitif yang berlebihan terhadap lawan jenis, serta tidak menjadikan seorang wanita menutup diri dari seorang pria.

B. Ketentuan Berbusana dalam Islam
Sebagai muslimah wanita yang menekuni karier juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang berhubungan dengan tata busana atau pakaian. Pakaian merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia disamping makan dan tempat tinggal. Pakaian merupakan penutup yang dapat menyembunyikan hal-hal yang membuatnya malu (aurat) bila dilihat orang lain. Inilah fungsi dasar mengapa manusia mengenakan pakaian, dimana pada hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia yang diaktualisasikan saat ia memiliki kesadaran.
Selain untuk menutup aurat, pakaian juga berguna sebagai pelindung untuk menjaga kesehatan tubuh. Ia juga berfungsi sebagai perhiasan. Pakaian sebagai perhiasan adalah pakaian yang membuat pemakainya memiliki warna keindahan. Namun tidak kalah pentingnya adalah pribadi yang dibungkusnya, termasuk di dalamnya perangai dan hati yang ada di dalamnya.
1. Pakaian sebagai Penutup Aurat
Salah satu usaha preventif agar tidak timbul madarat bagi wanita yang dalam tugas kesehariannya berada di tengah komunitas pria adalah perlunya menegakkan perintah (wajib) menutup aurat atau dengan kata lain berbusana yang islami, dengan beberapa alasan antara lain: Pertama, menutup aurat oleh wanita merupakan faktor penunjang utama kewajiban pria untuk menahan pandangan yang diperintahkan Allah SWT. Kedua, menutup aurat menjadi wajib karena sad al-zara’i yaitu menutup pintu kepada dosa yang lebih besar seperti berzina, sebagaimana tertuang di dalam QS. al-Isra/17 : 32 :

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan dosa yang besar”.

Oleh karena itu, para ulama sepakat mengatakan, menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik pria maupun wanita.
Busana yang dikenakan sehari-hari di ruang publik bagi wanita karier khususnya dan wanita pada umumnya, hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut:
 Busana yang menutup seluruh aurat yang wajib ditutup.
 Busana yang tidak menyolok mata dan menjadi kebanggaan pemakainya di depan orang lain.
 Busan yang tidak tipis, agar warna kulit pemakainya tidak nampak dari luar.
 Busana yang agak longgar/tidak terlalu ketat agar tidak menampakkan bentuk tubuhnya.
 Busana yang tidak menyerupai/sama dengan busana untuk pria.
 Busana yang bukan merupakan perhiasan bagi kecantikan yang menjadi alat kesombongan/tabarruj.

2. Pakaian sebagai Perhiasan
Salah satu tujuan manusia mengenakan pakaian, adalah sebagai perhiasan, yaitu sesuatu yang dipakai untuk memberikan kesan keindahan pada diri pemakainya. Sekalipun keindahan merupakan dambaan manusia, kriterianya adalah relatif, bergantung dari sudut pandang masing-masing individu. Hal ini merupakan salah satu sebab al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah. Ukuran keindahan itu relatif, sehingga para perancang busana memunculkan berbagai model pakaian yang dinilai indah untuk dipakai termasuk oleh wanita muslimah.
Berhias adalah naluri setiap manusia, baik pria maupun wanita. Islam tidak pernah melarang apapun yang sifatnya naluriah, karena Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya sejalan dengan naluri manusia. Yang menjadi concern Islam adalah mengatur pemenuhan kebutuhan-kebutuhan naluriyah itu sedemikian rupa, sehingga berlangsung dengan cara yang baik dan hormat.islam memberi tuntunan yang harus diperhatikan agar orang menjauhi kesombongan dan berlebih-lebihan (israf) dalam berhias, termasuk dengan pakaian yang ingin dikenakan.

3. Jilbab Penunjuk Identitas Muslimah
Pakaian dapat menunjukkan identitas serta membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan tidak jarang dapat membedakan status sosial seseorang. Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya. Orang yang mengenakan kostum olah raga akan terdorong semangatnya untuk berolah raga. Begitu pula, orang yang memakai pakaian tidur akan terangsang untuk tidur. Wanita yang memakai busana muslimah atau pria yang bersarung dan bersurban akan terdorong untuk merasa malu berbuat maksiat. Meskipun harus diakui, pakaian tidak menciptakan ”santri”, tetapi ia dapat mendorong pemakainya untuk ”berprilaku santri”. Pakaian terhormat mengundang seseorang untuk berprilaku dan mendatangi terhormat, sekaligus mencegahnya berbuat dan mendatangi tempat-tempat yang tidak baik. Inilah salah satu tujuan al-Qur’an memerintahkan wanita-wanita muslimah memakai jilbab. Jilbab bagi wanita merupakan gambaran identitas seorang muslimah, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an:

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Ahzab : 59)

Jilbab adalah kain luar yang berfungsi untuk menutup tubuh wanita dari atas hingga bawah. Ahmad Muhammad Jamal memberi pengertian jilbab sebagai jenis pakaian yang lebih besar ukurannya dibanding dengan kerudung yang dikenakan oleh wanita di luar pakaian-pakaian yang biasa dikenakan. Perintah mengulurkan jilbab dimaksudkan agar dapat menutup tubuh wanita kecuali yang biasa tampak pada diri mereka dalam kehidupan umum sehari-hari, yaitu muka dan telapak tangan. Pada prinsipnya jilbab adalah pakaian yang dapat menutup aurat.
Bagi wanita karier atau muslimah yang beraktivitas di sektor publik, busana muslimah mempunyai urgensi yang signifikan. Busana yang menutup aurat dapat menciptakan rasa aman kepada pemakainya di satu sisi, dan menyelamatkan orang lain dari zina mata di sisi lainnya. Dengan penampilan yang Islami, seorang wanita akan dihormati orang lain karena disamping penuh wibawa juga menumbuhkan rasa segan, sehingga menciptakan jarak yang wajar untuk berinteraksi antara pria dan wanita. Dengan demikian gosip dan fitnah serta godaan dapat dihindari.

C. Etos Kerja Islami
Selain pergaulan dan pakaian, muslimah yang memilih dunia karier juga harus bekerja dengan etos kerja yang tinggi dan profesional. Dalam Islam banyak didapati ajaran yang mendorong untuk melakukan usaha dan bekerja yang giat untuk memperoleh hasil kerja yang maksimal.
Menurut Islam, setiap orang yang bekerja apalagi yang menekuni karier, termasuk para wanita muslimah harus menampilkan etos yang tinggi dalam bekerja. Ciri-ciri etos kerja itu adalah:
1. Memiliki jiwa kepemimpinan, dalam arti mampu mengambil posisi sekaligus memainkan peran aktif, sehingga keberadaannya mampu mempengaruhi orang lain dan lingkungannya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 30, manusia diposisikan sebagai khalifah.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Kepemimpinan tidak hanya monopoli pria, wanita juga berhak menjadi pimpinan. Untuk itu jiwa kepemimpinan harus ditanamkan sejak menapak karier, dalam bentuk kemampuan mempengaruhi, mengarahkan, mengawasi, dan mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
2. Selalu berhitung; mengevaluasi apa yang sudah dilakukan untuk menghadapi masa depan. Firman Allah (Q.S. Al-Hasyr : 18)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

3. Menghargai waktu. Telah menjadi aksioma bahwa profesionalisme terkait erat dengan kedisiplinan dan dan ketepatan waktu. Jika pepatah barat mengatakan time is money (waktu adalah uang), maka dalam ungkapan Arab al-waqtu ka al-saif (waktu bagaikan pedang). Dua ungkapan ini dapat disatukan dengan menyadari bahwa semakinmemanfaatkan waktu semakin besar keuntungan yang diraih, sebaliknya semakin lalai dengan waktu, maka kian besar kerugian yang diderita dan bahkan bisa berakibat fatal.
4. Selalu merasa tidak puas terhadap kebaikan atau kinerja yang telah dicapainya. Diantara karakteristikkepribadian individu yang dinamis dan selalu ingin maju, adalah tidak puas dengan apa yang telah dicapai. Agama pun memacu umay untuk mencapai yang terbaik, sebagaimana diisyaratkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
5. Hidup berhemat dan efisien tanpa harus menumpuk harta dan kikir serta individualistis . meskipun sumber daya alam yang dimiliki melimpah, atau penghasilan lebih dari cukup, setiap muslim, termasuk wanita karier, diperintahkan untuk melakukan efisiensi. Dalam dunia manajemen, efisiensi dan efektifitas adalah dua kata kunci, yang tidak boleh ditinggalkan oleh siapapun yang terlibat dalam proses manajemen. Wanita karier yang bekerja secara profesional akan senantiasamenerapkan hal ini.
6. memiliki semangat wiraswasta (entrepreneurship) yang tinggi. Mencipta dan berkarya merupakan unsur terpenting jiwa wiraswasta ini.sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan al-Bukhari, Nabi bersabda: Dari Miqdam r.a, Rasulullah SAW bersabda, ”Tidak ada satu pun makanan yang lebih baik untuk dimakan oleh seseorang daripada makan hasil kerja tangannya sendiri"; Nabi Daud as, saja makan hasil dari kerja tangannya sendiri.
7. Memiliki naluri bertanding dan bersaing. Dalam dunia karier persaingan adalah keniscayaan, dan kompetisi adalah sistem yang tak terelakkan. Begitu terjun dalam suatu kancah karier, wanita muslimah harus siap menghadapi persaingan dan kompetisi. Dalam kaitan ini Allah berfirman:
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 148)

8. bersikap mandiri. Kemandirian tidak identik dengan egoisme (mementingkan diri sendiri). Kemandirian berarti kemampuan untuk menyelesaikan tugas tanpa ketergantungan pada orang lain, pada saat yang sama ia tetap mampu bekerja secara tim (team work). Mandiri juga dapat diartikan sebagai kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri; tanpa bergantung pada bantuan atau belas kasihan orang lain.
9. Knowledgeable tentang profesi yang ditekuninya dan selalu mengembangkan diri. Dalam dunia kerja pengetahuan dan keterampilan merupakan dua faktor penting yang menentukan keberhasilan meniti dan menekuni karier. Dalam hubungan ini Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. Al-Isra:36)

10. Berwawasan luas dan makro. Setelah menekuni profesi tertentu, orang cenderung mengambil posisi sebagai ahli dalam bidang tertentu. Namun untuk mencapai prestasi dan jenjang karier maksimal, spesialisasi harus didukung dengan wawasan luas yang bersifat makro.
11. Ulet dan pantang menyerah. Dalam profesi apa pun dan di lingkungan kerja manapun tidak ada keberhasilan dicapai dengan tiba-tiba. Segala sesuatu harus dicapai dengan hambatan, rintangan, dan tantangan. Hanya dengan kerja keras disertai daya juang tinggi sehingga tidak menyerah pada kegagalan yang mengantarkan seseorang mencapai prestasi.
12. Berorientasi pada prodiuktivitas. Selain dari dimensi proses, orang bekerja umumnya dinilai dari produknya. Karena itu dalam bekerja, seseorang dengan etos Islami yang tinggi tidak akan sekedar melakukan pekerjaan itu, tetapi juga berupaya untuk menyelesaikan sesuai dengan target dan sasaran yang dicanangkan. Untuk ini ia akan bersungguh-sungguh dalam melakukan proses dalam rangka mencapai produk yang diinginkan.

D. Optimalisasi Peran Wanita dengan Membangun Kesadaran Keseimbangan Beban Kerja
Berkaitan dengan kerja, pada setiap masyarakat telah terbentuk pembagian kerja secara seksual antara pria dan wanita, ini kemudian dikenal dengan peran gender. Secara biologis wanita dianugerahi alat reproduksi berupa vagina, ovum, rahim dan payudara. Dengan demikian tugas reproduksi mengandung, melahirkan, dan menyusui telah ditakdirkan untuk dijalani oleh wanita. Hanya saja, tugas reproduksi itu berkembang lebih lanjut dalam masyarakat menjadi peran gender, peran ”utama” wanita adalah sebagai perawat dan pendidik anak. Konsekuensi logis dari peran tadi, pekerjaan di rumah tangga merupakan tugas dan dan kewajiban pokok perempuan.
Mencermati kondisi sosial wanita saat ini, dimana semakin banyak wanita yang mencapai taraf pendidikan yang tinggi, tentu mereka membutuhkan wadah untuk berkarya. Jika seandainya rumah sudah dianggap terlalu sempit bagi ruang gerak sosial wanita, kenapa ketika mereka mempunyai kesempatan untuk memberikan kontribusi langsung langsung untuk pembangunan justru dibatasi dengan menggunakan alasan agama. Masih terbuka luas peluang bagi wanita untuk berkarya, tidak hanya pada bidang-bidang yang selama ini diidentikkan dengan wanita.
Kekhawatiran yang muncul jika perempuan bekerja di luar rumah akan menyebabkan pendidikan anak terabaikan dan itu bisa berimplikasi kepada kemerosotan moral karena keluarga adalah wadah pembinaan inti masyarakat, seharusnya tidak perlu terjadi jika masyarakat memahami bahwa dalam kehidupan rumah tangga peran yang dijalankan pria dan wanita bukanlah bernuansa dikotomis atau bahkan kontardiktif. Islam memang telah membagi tugas antara suami-istri dengan sebaik-baiknya. Pembagian ini tidak dimaksudkan bahwa wanita tidak mungkin melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh pria atau sebaliknya.
Pembagian tugas antara suami-istri dan penjelasan tentang kelebihan pria-wanita dijelaskan dalam al-Qur’an surat An-Nisa:34 dan Al-Baqarah:233. ayat pertama menjelaskan tugas suami dan kelebihan pria, sedangkan ayat kedua menegaskan tugas istri dan kelebihan wanita. Kedua tugas rumah tangga tadi (suami mencari nafkah; istri mengasuk dan merawat anak) sama mulianya, karena keduanya saling melengkapi, terpadu dalam kemitraan demi tegaknya sebuah rumah tangga.
Bila seorang istri tergerak untuk turut meringankan beban keluarga dengan bekerja di luar rumah, seharusnya suami tidak perlu merasa rendah untuk turut membantu pekerjaan rumah tangga. Kerena, bila suami bersikap enggan maka tujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah sulit untuk dicapai, karena salah satu fungsinya tidak berjalan secara maksimal. Dipandang dari sudut manapun, sikap seperti itu juga tidak adil, karena dua beban harus dipikul oleh satu orang, yaitu wanita.
Dengan adanya pembagian tugas ini, maka tugas-tugas domestik seperti pengasuhan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab berdua sehingga tidak terbengkalai walaupun istri menekuni karier. Sejatinya, anak tidak hanya butuh kasih sayang dan perhatian dari ibu, tapi mereka juga mkembutuhkannya dari ayah. Jadi, hanya dengan kerjasama antara ayah-ibu, pendidikan anak dapat terlaksana secara lebih efektif dan optimal, dibandingkan dengan pendidikan yang hanya dilaksanakan oleh ibu saja.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrauf Saimima, Iqbal (Editor), 1988. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta : Putaka Panjimas.
Albar, Muhammad, 1999. Wanita Karier dalam Timbangan Islam, Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual, terjemahan Amir Hamzah Fachrudin. Jakarta: Pustaka Azzam.
Dahri, Ibnu Ahmad, 1985. ”Peran Ganda Wanita dalam Keluarga” dalam Emansipasi Wanita dan Peran Ganda Wanita Indonesia. Yogyakarta, UII Press.

Tidak ada komentar:

SentraClix